Terapi wicara yang memakai cara tradisional, cara “saya berkata dan lihat mulut saya, kemudian tirukan apa yang saya katakan” tidak akan berhasil untuk anak dengan apraksia.
Mereka sejak dari bayi melihat orang tuanya berbicara kepadanya. Melihat orang-orang sekelilingnya berbicara kepada dia. Dia tahu dan mengerti apa yang mereka katakan, tetapi anak dengan apraksia tetap tidak bisa berbicara karena mereka tidak bisa meniru!
Secara sederhana, kita dapat meminta mereka meniru tindakan kita dalam menjulurkan lidah ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, ke belakang gigi dan seterusnya. Akan kelihatan bahwa mereka tidak secara otomatis melakukan (meniru) apa yang kita lakukan.
Bukan meniru ucapan atau gerakan mulut/lidah saja, tetapi kadang anak dengan apraksia juga tidak bisa meniru hal-hal yang lain. Contohnya, kalau mereka diberi balok dan meminta meniru kita menyusun seperti kereta api atau bentuk-bentuk yang lain, kita akan menemukan bahwa mereka akan kesulitan melakukan hal yang anak lain dapat lakukan dengan mudah.
Oleh karena itu, anak dengan apraksia membutuhkan terapi dengan pendekatan multisensori, maksudnya anak dapat melihat, mendengar dan merasakan bunyi yang akan diucapkan.
Sebagai salah satu contoh, ketika mengajar anak untuk memproduksi suara ‘ma’, kita berkata kepada anak tersebut untuk merapatkan kedua bibirnya (kita juga merapatkan kedua bibir kita). Kemudian, kita berkata ‘ma’, dengan menaruh tangan kita di sebelah mulut kita, melakukan gerakan dari posisi menutup jari-jari ke posisi membuka jari-jari seperti gerakan bibir kita. Dan dengan adanya bantuan cermin, anak akan melihat dirinya ketika mengucapkan kata dan hal ini akan sangat membantu anak untuk memproduksi dengan lebih baik dan tepat.