Buku ‘The Parent’s Guide to Speech and Language Problems’

Pada waktu saya mencari buku tentang language delay/disorder, buku ini menarik perhatian saya. Buku ini ditulis oleh Debbie Feit, seorang ibu yang mempunyai dua anak dengan apraksia. Buku ini memberikan penjelasan yang cukup jelas dan singkat, tidak hanya pada masalah wicara tetapi juga berbahasa.

Penulis mempunyai sentimen yang sama dengan saya bahwa knowledge is power. Dengan mengetahui lebih, kita lebih mengenal, mengerti dan pada akhirnya akan memampukan kita untuk bertindak dengan lebih baik. Dan buat saya, saya merasa lebih baik dalam menangani anak saya.

debf

Secara keseluruhan buku ini memberikan penjelasan dasar yang cukup mengenai banyak hal, seperti:

  • penjelasan detil mengenai definisi wicara (speech) dan berbahasa (language)
  • perbedaan antara delay dan disorder
  • memberikan argumen mengapa jangan mengambil tindakan wait and see
  • kepada siapa kita harus mencari tolong
  • penjelasan tentang bermacam-macam gangguan wicara (apraxia, articulation disorder, dysarthria, dysfluency/stuttering), ganguan bahasa (expressive language disorder, receptive language disorder, phonological disorder, semantic pragmatic language disorder) dan juga tentang hal-hal lainnya yang sering coexist dengan kondisi anak dengan gangguan wicara/bahasa, seperti hypotonia, sensory integration disorder dan sebagainya
  • cara-cara terapi yang biasa digunakan oleh terapis
  • suplemen, diet dan terapi alternatif lainnya
  • nasehat-nasehat yang dapat dikerjakan di rumah

Buku ini memberikan kelegaan kepada saya ketika saya mengetahui bahwa anak-anak Debbie (Max dan Ari) juga mempunyai masalah berbahasa ketika mereka sudah bisa bicara, seperti yang terjadi pada Jr. Mungkin itu alasan saya membeli buku ini, yaitu untuk mengetahui apakah ada anak-anak lain yang mempunyai language problem ketika mereka sudah bisa bicara (apraxia is moderately resolved).

Buku ‘Anything But Silent’

Anything But Silent adalah buku kedua yang saya baca setelah Jr mendapat diagnosa apraksia. Saya sungguh ingin tahu apakah anak-anak dengan apraksia bisa berbicara normal setelah terapi. Dan saya mendapatkan jawabannya pada buku ini.

Anything But Silent adalah sebuah buku yang ditulis oleh Kathy dan Kate Hennessy (ibu dan anak). Kathy Hennesy mempunyai dua anak dengan apraksia, Kate dan Andy.

image

Kathy menceritakan perjalanannya di dalam memperjuangkan kehidupan anak-anaknya. Tidak hanya sekedar membesarkan tetapi juga membuat anak-anaknya hidup dan berbicara, seperti layaknya anak-anak normal.

Ini adalah salah satu kalimat yang saya sukai dari Kate:
“You are the person who knows your child best and you are the only person who will fight for your child. You are the person your child depends on …”. Kamu adalah orang yang paling mengenal anakmu dengan baik dan hanya kamu yang akan berjuang untuk anakmu. Kamu merupakan tempat anakmu bergantung…

Kate Hennessy sebagai co-author menceritakan pengalaman hidupnya bersama apraksia.
Ia mendapat diagnosa apraksia murni. Dia mengikuti terapi wicara dari umur 2 tahun lebih dan mengikuti terapi selama 7 tahun.
Sedangkan Andy, adiknya, dengan 6 macam diagnosa termasuk apraksia, sejak usia 3 tahun menjalani terapi. Dia mengikuti terapi selama 12 tahun. Kate dan Andy bersekolah di sekolah normal dan sekarang telah menjadi mahasiswa menuju cita-cita yang mereka dambakan.

Epilog dari buku ini ditulis oleh Andy. Dia menulis frase “Siyo nqoba” (bahasa Afrika), yang mempunyai arti “We’re going to conquer“. Kita akan menaklukkan. Dia menggingat bagaimana ibunya, kakaknya dan dia menaklukkan apraksia.

Buku ‘The Late Talker’

Sungguh bersyukur bahwa buku pertama yang saya baca setelah Jr mendapat diagnosa apraksia adalah The Late Talker. Buku ini ditulis oleh Marilyn C. Agin, M.D, seorang dokter perkembangan anak; Lisa F. Geng, seorang ibu dari seorang anak dengan apraksia; dan Malcolm J. Nicholl, seorang penulis.

image

Buku ini memperlengkapi saya dengan banyak pengetahuan dasar yang saya perlukan dalam mengenal apraksia lebih baik. Dimulai dari deskripsi tentang bagaimana kompleksnya suatu proses bicara berlangsung, bermacam-macam kelainan/gangguan wicara yang ada sehingga saya yakin bahwa yang dimiliki Jr adalah apraksia dan bukannya kelainan/gangguan wicara yang lain, suplemen yang diperlukan, sampai dengan beberapa contoh anak dengan apraksia yang menunjukkan kemajuan setelah bertahun-tahun mengikuti terapi wicara.

Di buku ini juga dijelaskan beberapa metode terapi wicara untuk anak dengan apraxia sehingga saya mengetahui bahwa Jr berada pada penanganan yang benar. Mereka juga memberikan arahan bagaimana orang tua dan anggota keluarga yang lain dapat membantu anak dengan apraksia dalam kehidupan sehari-harinya di rumah, di sekolah, dan ketika berhadapan dengan orang-orang asing di tempat umum dan sebagainya.

Sungguh melegakan ketika mengetahui bahwa ternyata ada beberapa orang yang mendahului saya dalam mengalami ini lebih dari 10 tahun yang lalu dan anak-anak mereka dapat bicara dan bersekolah dengan normal.

Seorang ahli di bidang ini memperkirakan bahwa seorang anak dengan apraksia membutuhkan terapi sekitar 2-12 tahun, tergantung dari faktor lain yang menyertai seperti autis, down syndrome atau disorder lainnya.

Dan frase yang menarik saya adalah “Although your child may not learn things quickly, as long as she is learning there is hope” – Meskipun anak Anda belajar sangat lambat, tetapi selama dia masih belajar masih ada harapan.