Buku ‘The Late Talker’

Sungguh bersyukur bahwa buku pertama yang saya baca setelah Jr mendapat diagnosa apraksia adalah The Late Talker. Buku ini ditulis oleh Marilyn C. Agin, M.D, seorang dokter perkembangan anak; Lisa F. Geng, seorang ibu dari seorang anak dengan apraksia; dan Malcolm J. Nicholl, seorang penulis.

image

Buku ini memperlengkapi saya dengan banyak pengetahuan dasar yang saya perlukan dalam mengenal apraksia lebih baik. Dimulai dari deskripsi tentang bagaimana kompleksnya suatu proses bicara berlangsung, bermacam-macam kelainan/gangguan wicara yang ada sehingga saya yakin bahwa yang dimiliki Jr adalah apraksia dan bukannya kelainan/gangguan wicara yang lain, suplemen yang diperlukan, sampai dengan beberapa contoh anak dengan apraksia yang menunjukkan kemajuan setelah bertahun-tahun mengikuti terapi wicara.

Di buku ini juga dijelaskan beberapa metode terapi wicara untuk anak dengan apraxia sehingga saya mengetahui bahwa Jr berada pada penanganan yang benar. Mereka juga memberikan arahan bagaimana orang tua dan anggota keluarga yang lain dapat membantu anak dengan apraksia dalam kehidupan sehari-harinya di rumah, di sekolah, dan ketika berhadapan dengan orang-orang asing di tempat umum dan sebagainya.

Sungguh melegakan ketika mengetahui bahwa ternyata ada beberapa orang yang mendahului saya dalam mengalami ini lebih dari 10 tahun yang lalu dan anak-anak mereka dapat bicara dan bersekolah dengan normal.

Seorang ahli di bidang ini memperkirakan bahwa seorang anak dengan apraksia membutuhkan terapi sekitar 2-12 tahun, tergantung dari faktor lain yang menyertai seperti autis, down syndrome atau disorder lainnya.

Dan frase yang menarik saya adalah “Although your child may not learn things quickly, as long as she is learning there is hope” – Meskipun anak Anda belajar sangat lambat, tetapi selama dia masih belajar masih ada harapan.

Meniru (Imitate)

Terapi wicara yang memakai cara tradisional, cara “saya berkata dan lihat mulut saya, kemudian tirukan apa yang saya katakan” tidak akan berhasil untuk anak dengan apraksia.

Mereka sejak dari bayi melihat orang tuanya berbicara kepadanya. Melihat orang-orang sekelilingnya berbicara kepada dia. Dia tahu dan mengerti apa yang mereka katakan, tetapi anak dengan apraksia tetap tidak bisa berbicara karena mereka tidak bisa meniru!

Secara sederhana, kita dapat meminta mereka meniru tindakan kita dalam menjulurkan lidah ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, ke belakang gigi dan seterusnya. Akan kelihatan bahwa mereka tidak secara otomatis melakukan (meniru) apa yang kita lakukan.

Bukan meniru ucapan atau gerakan mulut/lidah saja, tetapi kadang anak dengan apraksia juga tidak bisa meniru hal-hal yang lain. Contohnya, kalau mereka diberi balok dan meminta meniru kita menyusun seperti kereta api atau bentuk-bentuk yang lain, kita akan menemukan bahwa mereka akan kesulitan melakukan hal yang anak lain dapat lakukan dengan mudah.

Oleh karena itu, anak dengan apraksia membutuhkan terapi dengan pendekatan multisensori, maksudnya anak dapat melihat, mendengar dan merasakan bunyi yang akan diucapkan.

Sebagai salah satu contoh, ketika mengajar anak untuk memproduksi suara ‘ma’, kita berkata kepada anak tersebut untuk merapatkan kedua bibirnya (kita juga merapatkan kedua bibir kita). Kemudian, kita berkata ‘ma’, dengan menaruh tangan kita di sebelah mulut kita, melakukan gerakan dari posisi menutup jari-jari ke posisi membuka jari-jari seperti gerakan bibir kita. Dan dengan adanya bantuan cermin, anak akan melihat dirinya ketika mengucapkan kata dan hal ini akan sangat membantu anak untuk memproduksi dengan lebih baik dan tepat.

It’s A Big Deal

Di tengah segala keruwetan pikiran dan hati, terjadi perdebatan seru di antara dua kubu pikiran saya. Pikiran yang pertama berkata dengan meyakinkan, “Apakah ini masalah besar? It’s not a big deal you know! Ini sama sekali tidak seperti divonis kena kanker atau mendapat hukuman mati! Apakah kemungkinan terburuknya? Kemungkinan terburuknya, Jr menjadi seperti orang bisu. Dan orang bisu tetap bisa hidup, berkomunikasi dengan bahasa isyarat, bekerja dan berkeluarga!

So, it’s not a big deal!!!

“Tetapi ini masalah besar! It’s a very big deal!!!” Debat pikiran yang lain dengan tidak mau kalah. “Dia tidak bisu. Dia bisa bersuara. Otaknya juga bisa berpikir dan memberikan perintah. Hanya saja pengirim beritanya tidak tahu tersesat di mana. Kamu belum berusaha keras, belum mencoba keras. Kamu harus bersabar. Tekun melatih Jr dan berdoa!”

It’s a very big deal. Dia sekarang masih berumur empat, tetapi sudah sadar kalau dia tidak seperti yang lain. Kalau dia sudah besaran, dia akan menyadari lebih banyak hal. Dan banyak hal itu mau tidak mau akan memperngaruhi dan membentuk dia. Apakah dia akan menjadi anak yang tidak percaya diri? Menjadi anak yang minder? Menjadi anak yang tidak berkembang seperti seharusnya? Bayangkan dirimu kalau menjadi Jr!”

Pikiran tersebut terus meluruskan benang yang saling mengait di kepalaku. “Kalau bukan kamu yang mengusahakan, siapa lagi. Itu mengapa Jr diberikan kepadamu! Setiap orang tua harus mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Bukan itu saja, orang tua harus mengenali potensi anak, menggali potensi anak, dan mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin untuk kemuliaan Tuhan. Hal ini berlaku juga buat Jr. Dia tidak bisu. Jadi tidak bisa disamakan dengan anak bisu! Kamu harus menolong Jr untuk mendapatkan suaranya, berapapun harga yang harus dibayar dan berapapun lamanya!”

Hampir tiap malam setelah berhasil menidurkan Jr, saya mengelus kepalanya, mencium pipinya dan berbisik di telinganya, “Anak yang lain tidak perlu berjuang untuk sekedar berbicara, tetapi kamu harus berjuang. Anak lain mempunyai masalah hidup setelah mereka mencapai umur tertentu, tetapi sejak kecil kamu harus menghadapi masalah hidup. It’s a big deal, Jr, I know. Jangan menyerah, Jr. Kita harus bekerja keras. Tuhan akan memampukan dan memberi kekuatan. Dan pada akhirnya kita akan mengetahui apakah maksud Tuhan untuk dirimu”.