Buku ‘The Parent’s Guide to Speech and Language Problems’

Pada waktu saya mencari buku tentang language delay/disorder, buku ini menarik perhatian saya. Buku ini ditulis oleh Debbie Feit, seorang ibu yang mempunyai dua anak dengan apraksia. Buku ini memberikan penjelasan yang cukup jelas dan singkat, tidak hanya pada masalah wicara tetapi juga berbahasa.

Penulis mempunyai sentimen yang sama dengan saya bahwa knowledge is power. Dengan mengetahui lebih, kita lebih mengenal, mengerti dan pada akhirnya akan memampukan kita untuk bertindak dengan lebih baik. Dan buat saya, saya merasa lebih baik dalam menangani anak saya.

debf

Secara keseluruhan buku ini memberikan penjelasan dasar yang cukup mengenai banyak hal, seperti:

  • penjelasan detil mengenai definisi wicara (speech) dan berbahasa (language)
  • perbedaan antara delay dan disorder
  • memberikan argumen mengapa jangan mengambil tindakan wait and see
  • kepada siapa kita harus mencari tolong
  • penjelasan tentang bermacam-macam gangguan wicara (apraxia, articulation disorder, dysarthria, dysfluency/stuttering), ganguan bahasa (expressive language disorder, receptive language disorder, phonological disorder, semantic pragmatic language disorder) dan juga tentang hal-hal lainnya yang sering coexist dengan kondisi anak dengan gangguan wicara/bahasa, seperti hypotonia, sensory integration disorder dan sebagainya
  • cara-cara terapi yang biasa digunakan oleh terapis
  • suplemen, diet dan terapi alternatif lainnya
  • nasehat-nasehat yang dapat dikerjakan di rumah

Buku ini memberikan kelegaan kepada saya ketika saya mengetahui bahwa anak-anak Debbie (Max dan Ari) juga mempunyai masalah berbahasa ketika mereka sudah bisa bicara, seperti yang terjadi pada Jr. Mungkin itu alasan saya membeli buku ini, yaitu untuk mengetahui apakah ada anak-anak lain yang mempunyai language problem ketika mereka sudah bisa bicara (apraxia is moderately resolved).

Faktor Einstein (The Einstein Factor or Einstein Syndrome)

Siapa sih yang tidak mengenal Einstein, si jenius, ahli fisika? Kalau musik-musik untuk bayi diberi nama BABY MOZART, maka DVD-DVD edukasi untuk bayi diberi nama BABY EINSTEIN.

Einstein diperkirakan mengalami keterlambatan bicara sampai umur 3 tahun. Dan orang-orang zaman sekarang sudah mempercayai bahwa ‘tidak apa-apa kalau anak terlambat bicara, siapa tahu dia pintar, dia jenius’, ‘banyak kok anak tidak bicara sampai umur 4-5 tahun, tapi begitu bisa, langsung nyerocos non-stop’. Dan banyak sekali orang tua yang mengambil sikap wait and see, tunggu dan lihat. Dan tentu saja saya merupakan salah satu orang tua yang demikian.

Pemikiran tersebut mungkin ada benarnya. Apalagi didukung oleh tulisan Thomas Sowell, yang adalah seorang ayah dari seorang anak yang mengalami keterlambatan wicara. Dia menulis buku dengan judul The Einstein Syndrome: Bright Children Who Talk Late. Dia menulis tentang sebanyak 285 anak yang luar biasa pintar dengan latar belakang mengalami keterlambatan bicara yang sangat lama. Buku ini benar-benar memberikan harapan kepada orang tua yang batitanya tidak bicara sesuai umur.

Tetapi, sangat perlu diketahui bahwa memang benar sekitar 75% dari anak yang mengalami keterlambatan bicara memang benar-benar hanya terlambat bicara (data US). Tapi ada sekitar 25% yang bukan. Kalau bukan, berarti mereka memiliki kelainan atau gangguan. Dan perlu juga diketahui bahwa hanya sebagian kecil dari anak yang mengalami keterlambatan bicara yang merupakan generasi Einstein.

Selain jumlahnya sangat kecil, generasi Einstein juga sangat spesifik, mereka tidak memiliki diagnosa gangguan/kelainan wicara/bahasa (speech/language disorder) seperti apraksia, gangguan pendengaran (hearing impairment), dan lain-lain.

Penulis New York Times, Randi Hutter Epstein mengatakan demikian:

No one should assume that a silent two year old is a budding genius; silence may be assign of a hearing loss or a neurological disorder.

Tidak seorang pun sebaiknya berasumsi bahwa anak berumur 2 tahun yang belum bicara adalah seorang anak yang jenius; kediaman mungkin sebagai suatu tanda kehilangan pendengaran atau suatu gangguan/kelainan neurologi.

Buku ‘Anything But Silent’

Anything But Silent adalah buku kedua yang saya baca setelah Jr mendapat diagnosa apraksia. Saya sungguh ingin tahu apakah anak-anak dengan apraksia bisa berbicara normal setelah terapi. Dan saya mendapatkan jawabannya pada buku ini.

Anything But Silent adalah sebuah buku yang ditulis oleh Kathy dan Kate Hennessy (ibu dan anak). Kathy Hennesy mempunyai dua anak dengan apraksia, Kate dan Andy.

image

Kathy menceritakan perjalanannya di dalam memperjuangkan kehidupan anak-anaknya. Tidak hanya sekedar membesarkan tetapi juga membuat anak-anaknya hidup dan berbicara, seperti layaknya anak-anak normal.

Ini adalah salah satu kalimat yang saya sukai dari Kate:
“You are the person who knows your child best and you are the only person who will fight for your child. You are the person your child depends on …”. Kamu adalah orang yang paling mengenal anakmu dengan baik dan hanya kamu yang akan berjuang untuk anakmu. Kamu merupakan tempat anakmu bergantung…

Kate Hennessy sebagai co-author menceritakan pengalaman hidupnya bersama apraksia.
Ia mendapat diagnosa apraksia murni. Dia mengikuti terapi wicara dari umur 2 tahun lebih dan mengikuti terapi selama 7 tahun.
Sedangkan Andy, adiknya, dengan 6 macam diagnosa termasuk apraksia, sejak usia 3 tahun menjalani terapi. Dia mengikuti terapi selama 12 tahun. Kate dan Andy bersekolah di sekolah normal dan sekarang telah menjadi mahasiswa menuju cita-cita yang mereka dambakan.

Epilog dari buku ini ditulis oleh Andy. Dia menulis frase “Siyo nqoba” (bahasa Afrika), yang mempunyai arti “We’re going to conquer“. Kita akan menaklukkan. Dia menggingat bagaimana ibunya, kakaknya dan dia menaklukkan apraksia.