Di dalam ketidakpastian mengenai apraksia, saya mengetahui satu hal yang pasti yaitu Jr harus mengikuti terapi wicara sesegera mungkin. Jika diagnosanya salah, terapi wicara pasti akan berguna bagi Jr. Jika diagnosanya benar, apalagi!
Jr mengikuti terapi seminggu setelah diagnosa. Kami bersyukur bahwa Jr sangat antusias dan kooperatif selama terapi. Mungkin dia berpikir, “Akhirnya, ada yang mengajari saya untuk berbicara! Selama ini saya tidak tahu bagaimana cara berbicara seperti yang lain”.
Terapi demi terapi berlalu, latihan demi latihan Jr ikuti, baik di tempat terapi maupun di rumah. Tetapi selama sekitar tiga minggu pertama ini, hasilnya bisa dibilang 0.
Saya sangat sedih. Sedih karena merasa terapi tidak membantu (atau belum terlihat hasilnya). Sedih karena saya juga merasa bagaimana saya bisa melatih Jr di rumah karena sebelum terapi pun saya telah ‘melatih’ Jr tapi Jr tetap tidak bisa bicara semestinya.
Sabar, tegur saya kepada diri saya sendiri. Memang pikirmu apraksia itu sekedar telat bicara?
Emosi, hati dan pikiran saya up and down selama minggu-minggu ini… Dan tiga hal ini menemani saya ‘Bersukacitalah dalam pengharapan. Sabarlah dalam kesesakan. Bertekunlah dalam doa.’