Satu Paket

Selamat Tahun Baru 2015!

Posting pertama di awal tahun baru 2015 berjudul ‘Satu Paket’…. bukan tentang paket Tahun Baru, tetapi tentang paket apraksia…

Perlu diketahui bahwa umumnya anak yang mempunyai kelainan/disorder karena adanya masalah saraf (neurologically different) pada area tertentu di otak, seperti apraksia, akan mempunyai masalah di area yang lain (seperti motor atau behaviour) karena masalah saraf tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat jarang hanya apraksia yang dimiliki oleh anak. Satu paket akan menyertai anak dengan apraksia.

Beberapa kondisi di bawah ini merupakan paket yang biasanya dimiliki oleh anak dengan apraksia. Meskipun tidak semua kondisi di bawah ini ada di dalam paket anak dengan apraksia, tetapi perlu diketahui bahwa dengan berjalannya waktu, beberapa kondisi ini mungkin akan muncul/lebih tampak atau hilang (atau tidak pernah muncul sama sekali), sesuai dengan perkembangan anak yang berubah-ubah.

Motorik Kasar

Anak dengan apraksia mungkin mempunyai kesulitan dalam melompat, berjalan naik/turun tangga dengan kaki bergantian, mengayuh sepeda, bermain dengan bola (melempar, menangkap, menendang bola,… ) dan sebagainya.

Motorik Halus

Anak dengan apraksia mungkin mempunyai kesulitan dalam menggunakan/mengkoordinasi jari-jari mereka. Mereka susah dalam menggunakan jempol dan jari telunjuk pada aktivitas seperti memegang pensil, menulis, menggunting; dalam aktivitas memakai/melepas pakaian (memakai/melepas kancing), dalam belajar memainkan alat musik dan sebagainya.

Anxiety Disorder

Anak dengan apraksia mungkin mempunyai masalah kuatir/ketakutan secara berlebihan terhadap kejadian/peristiwa/even tertentu. Hal ini mungkin dikarenakan anak dengan apraksia menjadi kuatir/takut/tidak nyaman di dalam suatu situasi tertentu, atau situasi yang menuntut mereka untuk berbicara dan bersosialisasi.  Anxiety Disorder mempunyai cakupan yang luas seperti Generalized Anxiety Disorder (GAD), separation anxiety disorder, selective mutism, specific phobias, Obsessive Compulsive Disorder(OCD), dan sebagainya.

Hypotonia

Hypotonia terjadi ketika otot bagian atas tidak sekeras semestinya sehingga menyebabkan anak tidak dapat duduk/berdiri dengan tegak. Hypotonia yang dimiliki anak dengan apraksia biasanya tidak parah.

Sensory Processing Disorder (SPD) atau Sensory Integration  Disorder (SID)

SPD terjadi dikarenakan sistem saraf tidak mengenali dan mengkoordinasi masukan rangsangan (panca indera: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, peraba) dengan baik. Beberapa anak dengan apraksia juga memperlihatkan kondisi sensory seeking atau sensory avoiding.

Tidur

Ada korelasi antara apraksia dan tidur. Ada beberapa anak dengan apraksia mempunyai masalah dengan tidur meskipun apraksia bukan sumber masalahnya, melainkan sistem saraf yang mempengaruhi circadian rhythms pada kondisi tidur

Beberapa anak dengan apraksia mempunyai masalah dengan memory/daya ingat, attention span/rentang perhatian yang pendek. Dan masih banyak disorder lain yang mungkin dimiliki anak dengan apraksia. Kondisi-kondisi ini bisa berdiri sendiri atau berhubungan dengan apraksia.

Gambaran ini diberikan secara umum sebagai bayangan bahwa anak dengan apraksia sangat besar kemungkinannya juga memiliki kondisi-kondisi lainnya sehingga orang tua perlu memonitor anaknya, mengerti dan menolong anaknya dengan lebih baik. Dan tentu saja bantuan dari para ahli sangat diperlukan seperti patologi wicara, spesialis rehabilitasi medik, dokter perkembangan anak, dokter neurologi anak, psikolog, psikiater dan sebagainya.

Catatan:

Apraksia juga dapat dimiliki oleh anak-anak dengan masalah:

  • APD: Auditory Processing Disorder
  • ADHD/ADD
  • ASD: Autism Spectrum Disorder
  • Neurodevelopmental Delay (NDD)

Faktor Einstein (The Einstein Factor or Einstein Syndrome)

Siapa sih yang tidak mengenal Einstein, si jenius, ahli fisika? Kalau musik-musik untuk bayi diberi nama BABY MOZART, maka DVD-DVD edukasi untuk bayi diberi nama BABY EINSTEIN.

Einstein diperkirakan mengalami keterlambatan bicara sampai umur 3 tahun. Dan orang-orang zaman sekarang sudah mempercayai bahwa ‘tidak apa-apa kalau anak terlambat bicara, siapa tahu dia pintar, dia jenius’, ‘banyak kok anak tidak bicara sampai umur 4-5 tahun, tapi begitu bisa, langsung nyerocos non-stop’. Dan banyak sekali orang tua yang mengambil sikap wait and see, tunggu dan lihat. Dan tentu saja saya merupakan salah satu orang tua yang demikian.

Pemikiran tersebut mungkin ada benarnya. Apalagi didukung oleh tulisan Thomas Sowell, yang adalah seorang ayah dari seorang anak yang mengalami keterlambatan wicara. Dia menulis buku dengan judul The Einstein Syndrome: Bright Children Who Talk Late. Dia menulis tentang sebanyak 285 anak yang luar biasa pintar dengan latar belakang mengalami keterlambatan bicara yang sangat lama. Buku ini benar-benar memberikan harapan kepada orang tua yang batitanya tidak bicara sesuai umur.

Tetapi, sangat perlu diketahui bahwa memang benar sekitar 75% dari anak yang mengalami keterlambatan bicara memang benar-benar hanya terlambat bicara (data US). Tapi ada sekitar 25% yang bukan. Kalau bukan, berarti mereka memiliki kelainan atau gangguan. Dan perlu juga diketahui bahwa hanya sebagian kecil dari anak yang mengalami keterlambatan bicara yang merupakan generasi Einstein.

Selain jumlahnya sangat kecil, generasi Einstein juga sangat spesifik, mereka tidak memiliki diagnosa gangguan/kelainan wicara/bahasa (speech/language disorder) seperti apraksia, gangguan pendengaran (hearing impairment), dan lain-lain.

Penulis New York Times, Randi Hutter Epstein mengatakan demikian:

No one should assume that a silent two year old is a budding genius; silence may be assign of a hearing loss or a neurological disorder.

Tidak seorang pun sebaiknya berasumsi bahwa anak berumur 2 tahun yang belum bicara adalah seorang anak yang jenius; kediaman mungkin sebagai suatu tanda kehilangan pendengaran atau suatu gangguan/kelainan neurologi.

Meniru (Imitate)

Terapi wicara yang memakai cara tradisional, cara “saya berkata dan lihat mulut saya, kemudian tirukan apa yang saya katakan” tidak akan berhasil untuk anak dengan apraksia.

Mereka sejak dari bayi melihat orang tuanya berbicara kepadanya. Melihat orang-orang sekelilingnya berbicara kepada dia. Dia tahu dan mengerti apa yang mereka katakan, tetapi anak dengan apraksia tetap tidak bisa berbicara karena mereka tidak bisa meniru!

Secara sederhana, kita dapat meminta mereka meniru tindakan kita dalam menjulurkan lidah ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, ke belakang gigi dan seterusnya. Akan kelihatan bahwa mereka tidak secara otomatis melakukan (meniru) apa yang kita lakukan.

Bukan meniru ucapan atau gerakan mulut/lidah saja, tetapi kadang anak dengan apraksia juga tidak bisa meniru hal-hal yang lain. Contohnya, kalau mereka diberi balok dan meminta meniru kita menyusun seperti kereta api atau bentuk-bentuk yang lain, kita akan menemukan bahwa mereka akan kesulitan melakukan hal yang anak lain dapat lakukan dengan mudah.

Oleh karena itu, anak dengan apraksia membutuhkan terapi dengan pendekatan multisensori, maksudnya anak dapat melihat, mendengar dan merasakan bunyi yang akan diucapkan.

Sebagai salah satu contoh, ketika mengajar anak untuk memproduksi suara ‘ma’, kita berkata kepada anak tersebut untuk merapatkan kedua bibirnya (kita juga merapatkan kedua bibir kita). Kemudian, kita berkata ‘ma’, dengan menaruh tangan kita di sebelah mulut kita, melakukan gerakan dari posisi menutup jari-jari ke posisi membuka jari-jari seperti gerakan bibir kita. Dan dengan adanya bantuan cermin, anak akan melihat dirinya ketika mengucapkan kata dan hal ini akan sangat membantu anak untuk memproduksi dengan lebih baik dan tepat.